Segera Bangkit |
2. Tawassul yang dilarang (dalam Islam) adalah tawassul yang tidak ada asalnya dalam agama Islam dan tidak ditunjukkan dalam dalil al-Quran maupun hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Yaitu ber-tawasssul kepada Allah Ta’ala dengan sarana yang tidak ditetapkan dalam syariat Islam.
Tawassul ini juga ada beberapa macam:
A- Tawassul dengan orang yang sudah mati dan berdoa kepadanya selain Allah Ta’ala. Ini termasuk perbuatan syirik besar yang bisa menjadikan pelakunya keluar dari Islam. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
وَلا تَدْعُ مِنْ دُونِ اللَّهِ مَا لا يَنْفَعُكَ وَلا يَضُرُّكَ فَإِنْ فَعَلْتَ فَإِنَّكَ إِذًا مِنَ الظَّالِمِينَ
“Dan
janganlah kamu menyeru (memohon) kepada sembahan-sembahan selain Allah
yang tidak mampu memberikan manfaat dan tidak (pula) memberi mudharat
kepadamu; sebab jika kamu berbuat (yang demikian itu), maka
sesungguhnya kamu kalau begitu termasuk orang-orang yang zhalim
(musyrik).” (QS. Yuunus: 106).
Termasuk dalam hal ini adalah ber-tawassul dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam setelah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat, ini termasuk perbuatan syirik. Oleh karena itu, para shahabat radhiallahu ‘anhum tidak pernah melakukannya, padahal mereka sangat mencintai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
B- Tawassul dengan jaah (kedudukan) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam atau orang-orang yang shaleh di sisi Allah. Ini termasuk tawassul yang bid’ah dan tidak pernah dilakukan oleh para shahabat radhiallahu ‘anhum, padahal mereka sangat mencintai dan memahami tingginya kedudukan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di sisi Allah ‘Azza wa Jalla.
Hal ini dikarenakan kedudukan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah bisa bermanfaat bagi siapapun kecuali bagi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri, meskipun bagi orang-orang terdekat dengan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam (lihat Kutubu wa Rasa-il Syaikh Muhammad bin Shalih al-’Utsaimin [79/5]), sebagaimana sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai
Fathimah putri (Nabi) Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, mintalah
dari hartaku (yang aku miliki) sesukamu, sesungguhnya aku tidak bisa
mencukupi (memberi manfaat) bagimu sedikitpun di hadapan Allah.” (Kitab Kaifa Nafhamut Tawassul, hal. 13).
Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu berkata, “Tawassul
ini adalah bid’ah dan bukan kesyirikan, karena memohon kepada Allah.
Akan tetapi terkadang bisa membawa kepada kesyirikan, yaitu jika orang
yang bertawassul itu berkeyakinan bahwa Allah butuh kepada
perantara (untuk mengetahui permintaan makhluk-Nya) sebaimana seorang
pemimpin atau presiden (butuh kepada perantara), (maka ini termasuk
syirik/ kafir) karena telah menyerupakan (Allah Subhanahu wa Ta’ala) Yang Maha Pencipta dengan makhluk-Nya, padahal Allah berfirman,
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
“Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. asy-Syuura: 11) (Kitab Kaifa Nafhamut Tawassul, hal. 13).
Sebagian orang yang membolehkan tawassul ini berdalil dengan sebuah hadits palsu, “Ber-tawassul-lah
kalian (dalam riwayat lain: Jika kalian memohon kepada Allah maka
memohonlah) dengan kedudukanku, karena sesungguhnya kedudukanku di sisi
Allah sngat agung.”
Hadits ini adalah hadits yang palsu dan merupakan kedustaan atas nama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
bahkan hadits ini tidak diriwayatkan oleh seorangpun dari para ulama
ahli hadits dalam kitab-kitab mereka, sebagaimana yang ditegaskan oleh
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (lihat kitab Al-Fatawal Kubra, 2/433 dan At-Tawassulu Anwaa’uhu wa Ahkaamuhu, hal. 128).
C- Tawassul dengan hak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan hak para wali Allah.
Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu berkata, “Tawassul ini tidak diperbolehkan (dalam Islam), karena tidak ada satu nukilanpun dari shahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
yang menjelaskan (kebolehannya). Imam Abu Hanifah dan dua orang murid
utama beliau (Abu Yusuf dan Muhammad bin Hasan asy-Syaibani) membenci
(mengharamkan) seseorang yang mengucapkan dalam doanya, ‘(Ya Allah),
aku memohon kepada-Mu dengan hak si Fulan, atau dengan hak para Nabi
dan Rasul-Mu ‘alaihissalam, atau dengan hak Baitullah al-Haram (Ka’bah)’, atau yang semisal itu, karena tidak ada seorangpun yang mempunyai hak atas Allah (lihat kitab Syarhul Ihya’) (Kitab Kaifa Nafhamut Tawassul, hal. 13).
-bersambung insya Allah-
0 comments:
Posting Komentar