Segera Bangkit |
Tawassul Para Sahabat Dengan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam
Dalam pembahasan ini, Novel kembali memakai cara lamanya dalam
berdalil… lagi-lagi ia berdalil dengan hadits yang tidak mengarah ke
permasalahan. Hadits tersebut terkenal dengan istilah “hadietsul a’ma”
(haditsnya Si orang buta). Novel mengatakan (hal 122-123): Dalam Sunan
Tirmidzi disebutkan bahwa Utsman bin Hunaif berkata, “Ada seorang
lelaki tuna netra datang menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan meminta beliau untuk mendoakannya agar dapat melihat kembali. Pada saat itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
memberikan dua pilihan kepadanya, yaitu didoakan sembuh atau bersabar
dengan kebutaannya tersebut. Tetapi, lelaki itu bersikeras minta
didoakan agar dapat melihat kembali. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian memerintahkannya untuk berwudhu dengan baik kemudian membaca doa berikut:
اللَّهُمَّ
إِنِّي أَسْأَلُكَ وَأَتَوَجَّهُ إِلَيْكَ بِنَبِيِّكَ مُحَمَّدٍ نَبِيِّ
الرَّحْمَةِ، إِنِّي تَوَجَّهْتُ بِكَ إِلَى رَبِّي فِي حَاجَتِي هَذِهِ
لِتُقْضَى لِي، اللَّهُمَّ فَشَفِّعْهُ فِيَّ.
Terjemahannya (versi Novel): “Ya Allah, sesungguhnya aku memohon dan berdoa kepada-Mu dengan (bertawassul dengan) Nabi-Mu Muhammad, Nabi yang penuh kasih sayang. (Duhai Rasul) Sesungguhnya aku telah ber-tawajjuh kepada Tuhanku dengan (bertawassul dengan)-mu agar hajatku ini terkabul. Ya Allah, terimalah syafa’at beliau untukku“. (HR. Tirmidzi dan Abu Dawud).
Novel mengatakan (hal 123): “Saudaraku, dalam hadis di atas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
mengajarkan cara kita bertawassul dengan beliau. Tawassul seperti ini
tidak hanya berlaku ketika beliau masih hidup, akan tetapi juga dapat
dilakukan setelah wafat beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Buktinya sejumlah sahabat menggunakan tawassul ini sepeninggal Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bahkan mereka mengajarkannya kepada orang lain. Ketika menyebutkan hadits di atas, Imam Thabrani menceritakan bahwa ada seorang lelaki yang sering kali mengunjungi Khalifah ‘Utsman bin ‘Affan radhiyallahu ‘anhu untuk menyampaikan kepentingannya. Tetapi, Khalifah ‘Utsman bin ‘Affan radhiyallahu ‘anhu
tidak sempat memperhatikannya. Ketika bertemu dengan ‘Utsman bin
Hunaif, lelaki itu menceritakan permasalahan yang ia hadapi. ‘Utsman
bin Hunaif kemudian memerintahkan lelaki itu untuk berwudhu,
mengerjakan shalat dua rakaat di Masjid, membaca doa di bawah ini dan
kemudian mendatanginya untuk diajak pergi menemui Sayyidina ‘Utsman”.
Kemudian Novel menukil doa yang dimaksud.[1]
Jawabnya, cerita yang diriwayatkan Imam Ath Thabrani di atas adalah dha’if [2],
berikut ini penjelasan Syaikh Al Albani setelah mentahkhrij hadits
tersebut, beliau mengatakan: “Kesimpulannya, kisah ini dhaif dan munkar
karena tiga hal: pertama, lemahnya hafalan perawi yang sendirian meriwayatkan cerita ini[3]; Kedua, adanya kontroversi matan hadits dari jalur perawi tersebut[4] dan ketiga, perawi tersebut menyelisihi perawi lainnya yang lebih tsiqah,
yang tidak meriwayatkan cerita tersebut. Satu saja dari tiga hal di
atas sudah cukup menjadikan hadits ini dha’if, lantas bagaimana jika
ketiga-tiganya ada semua??[5]
Sedangkan dalil lain yang disebutkan Novel adalah kisah orang Badui yang datang ke makam Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam … dst[6].
Menggelikan memang cara Novel berdalil, dan sekaligus memprihatinkan,
sejak kapan mimpi jadi dalil dalam agama? Ini hanya ada dalam kamus
orang-orang Sufi, tak ada dalil, mimpi pun jadi!
Dengan demikian, kedua hadits yang disebutkan oleh Novel tidak ada yang sah dijadikan dalil.
Tawassul Sayidina Umar dengan Sayidina ‘Abbas
Kali ini, Novel menggunakan dalil tipe kedua yang pernah saya singgung sebelumnya. Yaitu hadits shahih yang tidak sharih, alias tidak berkaitan dengan topik yang dibahas. Ia mengatakan (hal 125-126):
“Dalam Shahih Bukhari, Anas bin Malik menceritakan bahwa dahulu jika terjadi paceklik, Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu meminta hujan kepada Allah dengan bertawassul dengan ‘Abbas bin Abdul Muththalib. Sayidina ‘Umar berkata dalam doanya:
اَللَّهُمَّ
إِنَّا كُنَّا نَتَوَسَّلُ إِلَيْكَ بِنَبِيِّنَا فَتَسْقِيَنَا وَإِنَّا
نَتَوَسَّلُ إِلَيْكَ بِعَمِّ نَبِيِّنَا فَاسْقِنَا
“Ya Allah, sesungguhnya dahulu ketika berdoa kepada-mu kami
bertawassul dengan Nabi-Mu, Engkau pun menuruhkan hujan kepada kami.
Dan sekarang kami bedoa kepada-Mu dengan bertawassul dengan paman Nabi
kami, maka berilah kami hujan.” (HR. Bukhari). Tidak lama setelah itu, Allah menurunkan hujan kepada mereka semua.
Di atas disebutkan dengan jelas bahwa Sayidina ‘Umar radhiyallahu ‘anhu bertawassul dengan Sayidina ‘Abbas radhiyallahu ‘anhu, paman Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Ada sebagian orang yang menggunakan atsar ini sebagai dalil bahwa
tawassul dengan yang telah meninggal dunia tidak boleh, sebab Sayidina
‘Umar bertawassul dengan Sayidina ‘Abbas radhiyallahu ‘anhu yang masih hidup. Pendapat seperti ini tidak tepat, sebab dalam kenyataannya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
mencontohkan kita untuk bertawassul dengan yang masih hidup maupun
dengan mereka yang telah meninggal dunia. Begitu pula para sahabat
lainnya sebagaimana diceritakan tentang seorang tunanetra di masa
pemerintahan Sayidina ‘Utsman radhiyallahu ‘anhu”.
Saya katakan, justru pendapatmu lah yang tidak benar hai Novel. Karena dalil-dalil yang kau gunakan dha’if semua, bahkan sangat dha’if dan palsu.
Kemudian Novel mengatakan (hal 126): “Lalu apa maksud tawassul Sayidina Umar dengan Sayidina ‘Abbas radhiyallahu ‘anhu
yang masih hidup? Tujuan beliau adalah untuk mengajarkan dan
mencontohkan kepada semua sahabat, bahwa tawassul dengan selain Nabi
adalah boleh dan dapat dilakukan. Beliau menunjuk Sayidina ‘Abbas radhiyallahu ‘anhu adalah karena kedekatan beliau radhiyallahu ‘anhu dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sayidina ‘Abbas merupakan paman Rasulullah, ahli bait Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam “.
Saya katakan, ini bukti kacaunya pemahaman Novel
tentang tawassul. Ia tidak bisa membedakan antara tawassul yang
dibolehkan dengan tawassul yang dilarang. Sebelum menjawab syubhat ini,
saya harus menjelaskan kriteria tawassul yang dibolehkan dengan yang
dilarang secara ringkas sebagai berikut;
Pertama: tawasssul yang dibolehkan
Tawassul ini berupa satu dari tiga hal:
Pertama: Tawassul dengan Asma’ul Husna, yakni kita
berdoa kepada Allah dengan menyebut nama-nama dan sifat-sifat Allah
yang indah sesuai dengan karakter doa kita. Misalnya: “Yaa Ghafuur Ya Rahiim”, saat kita memohon ampunan dan rahmat-Nya. Atau “Ya ‘Aziizu Ya Qawiyyu”,
saat mendoakan kekalahan bagi musuh-musuh Islam, atau nama-nama lainnya
yang tidak bertentangan dengan makna doa kita. Tawassul seperti ini
sangat dianjurkan, sebagaimana firman Allah:
وَلِلَّهِ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَى فَادْعُوهُ بِهَا… [الأعراف/180]
“Hanya milik Allah lah asmaa-ul husna, maka berdoalah kepada-Nya dengan menyebut asmaa-ul husna itu…” (Al A’raaf: 180).
Kedua: Tawassul dengan amal shaleh kita, bukan
dengan amalan orang lain. Dalilnya ialah kisah tiga orang yang terjebak
dalam gua, lalu masing-masing berdoa kepada Allah dengan menyebut amal
shaleh yang pernah dilakukannya hingga batu yang menutup mulut gua
tersebut terbuka atas izin Allah.[7]
Ketiga: Tawassul dengan minta doa dari orang yang
masih hidup dan hadir di dekat kita. Dalilnya adalah kisah Si tunanetra
yang terkenal dengan istilah hadietsul a’ma[8],
demikian pula kisah orang Arab badui yang masuk mesjid ketika Nabi
sedang khutbah Jum’at, lalu mengeluhkan jalan yang pecah-pecah,
keluarga yang kelaparan dan harta benda yang binasa akibat paceklik
yang berkepanjangan, kemudian meminta agar Rasulullah berdoa kepada
Allah supaya turun hujan, dst[9]. Demikian pula tawassul Umar dengan ‘Abbas di atas.
Anda mungkin bertanya: ‘mengapa disyaratkan bahwa orang tersebut harus hidup dan hadir?‘ Jawabnya karena itulah yang disebutkan oleh hadits-hadits yang ada (dan shahih tentunya). Seperti tawassul Umar dengan Abbas, haditsul a’ma
dan kisah si Badui di atas. Jelas bahwa yang dimintai doa adalah orang
yang masih hidup dan hadir. Kalaulah kehadiran orang tersebut bukanlah
syarat, pastilah si tunanetra tidak perlu capai-capai menghadap
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam Demikian pula dengan Si Arab badui.
Kedua: Tawassul yang dilarang
Tawassul ini adalah semua bentuk tawassul yang tidak ada dalilnya[10].
Ingat, tawassul merupakan ibadah yang hukum asalnya adalah haram
kecuali jika ada perintah. Karena itu, semua bentuk tawassul yang tidak
ada perintahnya adalah terlarang, meski tidak ada dalil yang
melarangnya. Inilah aturan baku yang hendak dibalik oleh Novel dalam
bukunya.
Contohnya: tawassul dengan jaah (kehormatan) Nabi, dengan
berkat Imam Syafi’i, dan sejenisnya. Demikian pula tawassul dengan
orang yang sudah mati, atau yang tidak hadir.
Bila masalah ini telah kita fahami, maka ketahuilah bahwa tawassul-nya
Sayidina ‘Umar dengan Sayidina ‘Abbas, sama sekali berbeda dengan apa
yang difahami oleh Novel. Makna hadits di atas ialah bahwa Umar dan
para sahabat ketika mengalami paceklik di zaman Nabi, mereka mendatangi
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan minta agar beliau mendoakan supaya turun hujan. Lalu sepeninggal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Umar dan para sahabat beralih mendatangi ‘Abbas dan minta doa darinya.
Cobalah Saudara renungkan, ketika paceklik melanda, kiranya apakah
para sahabat duduk di rumah mereka masing-masing kemudian berdoa: “Ya Allah, dengan Nabi-Mu Muhammad dan segala kehormatannya di sisi-Mu, berilah kami hujan…”, atau mereka mendatangi diri Rasulullah,
lalu minta doa dari beliau agar Allah menurunkan hujan? Kemudian
setelah beliau wafat, Umar dan para sahabat tidak lagi minta atau
mendatangi kuburan Rasulullah untuk minta doa. Mengapa? Karena mereka
semua orang berakal yang paham terhadap makna tawassul. Mereka tahu
bahwa Rasulullah yang dahulu merupakan manusia paling manjur doanya
saat beliau hidup, kini sudah wafat dan tidak bisa lagi memberi manfaat
apa pun kepada mereka. Kalaulah para sahabat memahami makna tawassul
seperti yang dipahami oleh Novel, lantas mengapa mereka tidak
mendatangi makam Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan minta doa dari beliau? Bukankah beliau jauh lebih afdhal dari pada ‘Abbas?
Novel dan siapa pun yang mengikutinya tidak akan bisa mendatangkan
satu dalil pun yang shahih dan sharih (gamblang), yang menjelaskan
bahwa cara tawassul yang dipraktikkan Umar dan para sahabatnya kepada
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam maupun kepada Abbas ialah dengan sekedar menyebut nama mereka dalam berdoa. Sebaliknya, demikian banyak dalil-dalil yang menjelaskan bahwa tawassul yang mereka lakukan dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam maupun Abbas ialah dengan mendatangi keduanya, lalu meminta keduanya untuk berdoa kepada Allah. Di antara dalilnya ialah kisah Arab badui yang telah disinggung di atas.
Apa yang kami jelaskan ini adalah makna tawassul yang terjadi dalam kehidupan orang sehari-hari. Sebab makna tawassul secara bahasa ialah menggunakan wasilah atau perantara untuk mencapai sesuatu[11].
Misalnya ketika seorang pegawai memiliki hajat tertentu dari bosnya,
dia akan mencari orang yang dikenal baik oleh bosnya untuk menghadap
bos tersebut dan menyampaikan keinginannya. Kemudian perantara ini
menyampaikan keinginan si pegawai kepada bosnya, baru setelah itu si
Bos mengabulkan hajat si pegawai. Bukan berarti si pegawai
menyebut-nyebut nama kenalan baik si bos tadi di hadapan bosnya.
Demikian pula yang terjadi ketika Sayidina Umar dan para sahabat
ber-tawassul dengan Abbas, maknanya ialah mendatangi ‘Abbas lalu minta
doa darinya.
-bersambung insya Allah-
Penulis: Ustadz Abu Hudzaifah Al Atsary, Lc
Mahasiswa Magister ‘Ulumul Hadits wad Dirosah Islamiyah Univ. Islam Madinah
Artikel www.muslim.or.id
0 comments:
Posting Komentar