[segerabangkit] |
Untungnya,
bagi mereka yang mencari kebenaran, Perpustakaan Kerajaan Belanda
baru-baru ini menyediakan di internet isi koran-koran Belanda pada
periode 1618 - 1995. Ulasan pada koran-koran terbitan lama itu dapat
memberikan informasi tentang peristiwa-peristiwa bersejarah seperti
yang ditulis saat peristiwa-peristiwa itu terjadi. Dengan menggunakan
informasi yang tertulis dalam koran-koran tersebut, periode
kolonialisme Belanda di Indonesia dapat dicek ulang secara independen.
Dengan informasi tersebut itu pula, ‘sudut pandang’ dalam buku-buku
sejarah yang beredar saat ini dapat diverifikasi ulang.
Berita
dalam koran-koran yang terbit di Belanda selama periode 1850-1930
menuliskan pendapat umum, bahwa Islamlah yang menyebabkan rakyat
Indonesia ‘memberontak’. Misalnya koran Algemeen Handelsblad menuliskan pemberontakan pada tahun 1859 di Bandjarmasin. Koran tersebut menuliskan artikel: Kami
telah melihat bahwa, menurut laporan-laporan yang diterima oleh mister
Van Twist dari sumber-sumber sangat terpercaya, bahwa
pemberontakan-pemberontakan di bagian selatan-timur Borneo jelas bisa
ditandai bercirikan Islam atau anti-Eropa. Artinya, menurut koran Algemeen Handelsblad, perlawanan masyarakat Indonesia—di seluruh
bagian Nusantara baik itu di Banjarmasin, di Borneo dan di bagian lain
di Indonesia—semuanya disebabkan karena spirit Islam.
Tahun 1864, koran Algemeen Handelsblad juga menurunkan tulisan tentang kerusuhan di Tegal: Seorang
Troeno telah mencoba mengajak orang-orang Tegal untuk memberontak
terhadap kekuasaan Eropa. Rupanya dia menggunakan fanatisme sebagai
alatnya. Yang dimaksud dengan kata fanatisme pada koran-koran pada waktu itu adalah Islam.
Pada tahun 1885, koran Het Nieuws van den Dag
bahkan mengatakan bahwa rakyat Indonesia melihat perlawanan mereka
sebagai jihad dengan motivasi murni dari Islam. Jihad dalam bahasa
Indonesia diterjemahkan sebagai perang sabil (perang suci): Di
Sukabumi, sekarang rakyat memiliki lima tempat di mana
kelompok-kelompok agama bisa berkumpul. Orang-orang yang ikut dalam
kelompok-kelompok ini, yang merupakan kaum fanatik, tetap berkumpul setelah sholat Jumat untuk membahas Perang Sabil, Perang Suci.
Dari fakta di atas tidak sulit untuk membayangkan bahwa perlawanan
Indonesia terhadap penjajahan Belanda didorong oleh semangat Islam.
Pada tahun 1894, koran Algemeen Handelsblad menulis bahwa Islam menjadi spirit perlawanan: …Sebab
pemberontakan di Pulau Lombok yang paling mungkin, menurut mereka,
sebagaimana menurut Mister Willemsen, adalah disebabkan oleh fanatisme
Islam.
Koran Het Nieuws van den Dag pada tahun yang sama juga mencatat ada hubungan perlawanan di Indonesia dengan bulan puasa Ramadhan: Kemarin, dekat Anak-Guleng terjadi penembakan. Bulan puasa telah dimulai dan seorang yang syahid selama Perang Sabil ini tentu mendapat balasan surga.
Selama
beberapa tahun kemudian, koran itu terus menyalahkan Islam atas
terjadinya pemberontakan di Indonesia. Sebagai contoh pada tahun 1904,
koran Het Nieuws van den Dag menulis: Pada saat itu
orang-orang memberitahukan bahwa di Sukabumi terjadi ‘kerusuhan dengan
kekerasan’ yang menunjukkan kemiripan yang terjadi dengan kerusuhan di
Sumedang dan Sidoarjo. Dia menganggap kerusuhan-kerusuhan itu
diakibatkan oleh fanatisme.
Pada tahun yang sama koran itu menulis tentang pemberontakan-pemberontakan di tempat-tempat lain:
Kekuatan yang datang dengan fanatisme adalah salah satu hal yang kita
harus sangat perhatikan. Baru-baru ini, kekuatan-kekuatan ini telah
berjalan lancar, seperti yang dapat terlihat di Jambi, Korintji, di
Kepulauan Gaju. Tragedi di Tjilegon, yang merupakan seruan bagi
fanatisme di tempat-tempat lain, dan sekarang terjadi pemberontakan di
Gedanggan, mereka semua membuktikannya. Kejadian-kejadian di Sidoarjo,
pada dasarnya terjadi di depan mata dua garnisun tentara kita,
menunjukkan kepada kita kekuatan ini.
Hingga tahun 1908, ternyata penyebab perlawanan rakyat Indonesia tidak berbeda. Koran Het Nieuws van den Dag menulis: Sekarang
kita tahu bahwa ada sebuah sekte Muhammad, de Satria, memiliki tangan
atas semua ini – dan lagi membuktikan bahwa pemerintahan Indonesia
tidak dapat bertindak terlalu tegas terhadap sikap
fanatisme ini yang menerima motivasi dari barat, yang merongrong
otoritas kami dan menimbulkan bahaya terus-menerus. Perang Suci melawan
“kaum kafir” terus didengungkan, dan hampir sama sekali tak terduga
selama pertengahan bulan ini perlawanan yang sangat serius meletus lagi.
Pada tahun 1910, koran Sumatera Post juga menyalahkan Islam atas pemberontakan di Padang: Sejak
hari-hari pemberontakan itu, tanda-tanda fanatisme menunjukkan bahwa ia
terjadi secara teratur, dan melalui hal itu menjadi jelas berapa banyak
daerah di Pariaman, di wilayah-wilayah dataran rendah Padang, merupakan
tempat-tempat berkembang biak kaum Muslim (Mohammadans) yang fanatik
dari sekte Satria yang menurut laporan pejabat, juga terutama
bertanggung jawab atas perlawanan bersenjata pada tahun 1908.
Komentar-komentar
koran-koran ternama Belanda saat itu mengenai kasus-kasus perlawanan di
Indonesia menjelaskan bahwa ada konsensus di Belanda, bahwa Islam
adalah penyebab yang nyata atas perlawanan tersebut. Islam dilihat oleh
Belanda sebagai akar penyebab, bukan nasionalisme. Jadi, tidak benar
yang dikatakan buku-buku sejarah di Indonesia perlawanan terhadap
penjajahan Belanda hanya dilakukan karena aspirasi-aspirasi
nasionalistik.
Selama
periode 1850-1930 sebagian besar koran-koran Belanda menuliskan bahwa
semua masalah Belanda di Indonesia dimulai dengan ibadah haji Muslim
Indonesia ke Makkah. Sebagai contoh pada tahun 1859, seorang analis
koran Algemeen Handelsblad menulis: “Opini publik
mengatakan bahwa penyebab kerusuhan terutama dapat ditemukan atas
meningkatnya jumlah jamaah haji ke Makkah, dan peningkatan itu
mengakibatkan meningkatnya fanatisme, yang karenanya penduduk pribumi
memiliki motif untuk memberontak terhadap Kekristenan dan dominasi
Eropa.”
Pada tahun 1866, koran De Locomotief menulis: “Bahaya
atas keselamatan rata-rata orang-orang Jawa atas peningkatan jumlah
jamaah haji adalah sangat tidak diremehkan. Bahaya ini adalah sebuah
fakta, tanpa keraguan sama sekali.”
Para
analis lain kemudian menjelaskan dengan tepat mengapa haji merupakan
awal dari semua masalah Belanda di Indonesia. Sekali lagi koran De Locomotief menulis (1877): “Semakin banyak peziarah yang berangkat ke Makkah, semakin meningkatlah fanatisme.”
Dengan
kata lain, Belanda melihat hubungan antara haji dan kekuatan keyakinan
Islam di antara rakyat Indonesia. Hal ini karena ibadah haji untuk
jamaah haji Indonesia juga merupakan kesempatan untuk belajar lebih
banyak tentang Islam. Pada periode 1850-1930 Khilafah Islam atau Caliphate
masih ada. Hijaz, wilayah sekitar Makkah dan Madinah yang dikunjungi
para peziarah, masih menjadi bagian dari Kekhalifahan. Jadi, ketika
orang-orang Indonesia pergi haji, mereka pergi ke sebuah negeri yang
dibangun berlandaskan Islam. Di Makkah orang-orang termotivasi oleh
negara untuk belajar dan memahami Islam. Jamaah Indonesia mengambil
apa-apa yang mereka pelajari di sana dan ketika kembali ke Indonesia
berbagi dengan sesama Muslim di Indonesia.
Lalu
apa yang begitu ditakuti Belanda mengenai pengetahuan tentang Islam di
antara orang Indonesia? Jawaban atas pertanyaan ini adalah apa yang
disebut Belanda sebagai “pan-Islamisme”. Sebagai contoh, sebuah
analisis di koran Nieuwe Rotterdamsche Courant (1915) mengatakan: “Di
masa lalu, adalah mungkin untuk menyesali keinginan yang berlebihan di
antara kaum Muslim (Mohammedans) di Indonesia untuk pergi haji, karena
berbagai alasan. Sebagian dari mereka datang karena pengaruh
pan-Islamisme di sana, dan kemudian ketika mereka kembali, memiliki
pengaruh yang kurang diinginkan atas rekan-rekan senegaranya.”
Seorang analis menulis untuk koran Het Nieuws van den Dag (1911) mengatakan: “Tidak
perlu bagi kita untuk berbicara tentang fanatisme di antara sebagian
besar jamaah haji yang kembali. Hal ini bahkan lebih berbahaya di zaman
dan usia kita, sekarang pan-Islamisme sedang berusaha untuk membuat
terobosan mana-mana.”
Apa sebenarnya yang dimaksudkan dengan istilah ‘pan-Islamisme’ ini dijelaskan oleh surat kabar Nieuw Tilburgsche Courant (1900): “Istilah
pan-Islamisme dipahami oleh orang-orang Eropa sebagai makna aspirasi di
kalangan umat Islam untuk bersatu dalam sebuah negara. Dalam bentuk apa
pan-Islamisme menemukan asal-usulnya? Dalam hukum Islam ortodoks
menyebutkan bahwa semua umat Islam (Mohammedans), dengan tidak
memandang bangsa dan bahasanya, harus menjadi salah satu komunitas yang
ideal, dan bahwa semua penguasa Islam harus mengakui satu penguasa
tertinggi. Apakah konsekuensi dari hal ini? Bahwa seorang penguasa
kafir, sebagai masalah yang prinsipil, tidak akan pernah diterima oleh
kaum Muslim (Mohammedans) ortodoks sebagai penguasa mereka yang sah.
Dengan kata lain, suatu bahaya yang tak terbantahkan pada tingkat yang
lebih besar atau lebih kecil bagi setiap negara Kristen yang menangani
masalah kaum Muslim.”
Seperti juga dikatakan koran Algemeen Handelsblad (1910): “Ceramah-ceramah
yang menjelaskan bahwa bagi kaum Muslim (Mohammedans) hanya ada
pemerintahan Khalifah—Sultan Turki—yang merupakan pemerintahan yang
sah, dan bahwa mereka melihat setiap pemerintahan lain sebagai tidak
sah, karenanya hal ini termasuk juga pemerintahan kita (atas
Indonesia). Dengan kata lain, ajaran-ajaran mengenai Khilafah bagi kita
adalah unsur yang sangat berbahaya.”
Dengan
kata lain, Belanda menyadari bahwa Negara Islam/Khilafah merupakan
sebuah pilar Islam. Belanda menyadari bahwa pilar Islam ini memotivasi
umat Islam di Indonesia untuk terus-menerus melawan pemerintahan
kolonial Belanda. Hal ini persis sama dengan apa yang dimuat koran Het Nieuws van den Dag (1897): “Pemerintah
kami bisa mendapatkan banyak masalah dari hal ini, karena bagi kita
juga Pan-Islamisme adalah musuh terbesar dan terkuat bagi perdamaian di
wilayah jajahan kita, seperti juga bagi semua negara Eropa
lain yang melihat banyaknya kaum Mohammedans yang mereka tangani atau
bangsa-bangsa yang mereka tundukkan.”
Pemerintah Belanda menyadari hal ini, seperti yang ditunjukkan oleh sebuah laporan koran Nieuw Tilburgsche Courant (1898): “Selama
diskusi mengenai anggaran pemerintahan kolonial di Indonesia untuk
tahun 1899, mister De Waal Malefijt menyatakan keprihatinannya atas
peningkatan agama Islam di Indonesia, yang menyebabkan meningkatnya
pengaruh pan-Islamisme.”
0 comments:
Posting Komentar