[segerabangkit.co.cc] |
Kecintaan seorang ibu kepada anaknya apakah al hubb atau mawaddah?
Kecintaan seorang suami kepada istrinya yang tetap setia
bertahun-tahun hidup bersama, tanpa melihat fisik apakah al hubb atau
mawaddah?
Kecintaan Rasulullah saw ketika mendakwahi umatnya yang susah diajak berpikir apakah al hubb atau mawaddah? Awalnya, saya fikir maknanya sama saja yaitu cinta, diantara dua kata yang berasal dari bahasa ‘arab tadi.
Ternyata salah, itulah kedalaman bahasa ‘arab memiliki makna luas dan bermakna. Al hubb dan mawaddah ternyata sangat jauh berbeda. Al hubb adalah cinta yang memiliki batas waktu untuk
mencintai sesuatu, apakah itu cinta kepada manusia atau benda. Dan
mudah berpindah jika menemukan yang lebih besar manfaatnya bagi dia. Al hubb bisa kita lihat faktanya saat ini, mencintai tanpa ada rasa tanggung jawab dan kotmitmen terhadap yang ia cintai.
Perceraian marak sekali terjadi, durhaka anak kepada ibunya,
putusnya tali silahturahmi antara keluarga, saling bermusuhan antara
tetangga satu dengan yang lain dll. Karena standarnya adalah cinta atas
dasar maslahat sehingga berdampak akan mudah sekali hilang cintanya
jika dia tidak menemukan mashlahat terhadap yang ia cintai.
Mawaddah adalah cinta yang unlimit atau tidak terbatas sampai kapanpun. Inilah kecintaan yang dimiliki oleh seorang ibu terhadap anaknya.
Cintanya seorang ibu akan hidup sampai kapanpun tidak terbatas tempat, waktu, dan usia anak. Begitu juga cintanya sepasang suami istri yang sudah hidup
berpuluh-puluh tahun namun masih tetap cinta, masih tetap sayang, masih
tetap akan merasa bahagia jika bersama, ada kerinduan yang besar ketika
tidak bertemu walaupun usia sudah tua tapi rasa cinta seperti itu masih
ada, walaupun dari fisik pasangannya mungkin sudah tidak enak dilihat
lagi .
Pernah melihat? kakek nenek yang datang kepengajian, mereka sambil
berpegangan tangan dan terlihat sangat bahagia padahal usia mereka
sudah sangat tua dan mereka sudah hidup berpuluh-puluh tahun lamanya
tapi seakan-akan mereka baru menikah kemarin-kemarin. Itulah cinta yang
tidak ada batasnya.
Menarik kisah pada genarasi sahabat, kisah ini terjadi pada saat
pemerintahan ‘Umar Amirul mukminin r.a. ada seorang arab badui yang
akan mengadukan istrinya kepada ‘Umar karena istrinya telah
mengeluarkan suara keras melebihi suaranya.
Iapun kemudian pergi ke rumah Amirul Mukminin ‘Umar bin Khatab r.a.
dan ketika dia sampai di depan pintu rumah Amirul Mukminin dia
mendengar langkah kaki ‘Umar yang hendak keluar dari rumahnya. Dia
mendengar istri Amirul Mukminin berkata kepadanya dengan suara yang
keras mengatakan: “bertaqwalah kepada Allah, wahai ‘Umar atas apa yang
engkau pimpin!”
‘Umar hanya diam dan tidak berbicara sedikitpun, orang badui
tersebut berbicara dalam hatinya seraya berpaling pergi: “Jika keadaan
Amirul Mukminin saja seperti ini, maka bagaimana dengan diriku?” Ketika
ia hendak berpaling pergi, ternyata ‘Umar bin khatab telah keluar dan
melihatnya. ‘Umar bertanya apa keperluanmu?, wahai saudaraku orang
Arab?”
Orang arab badui itupun menjawab: “Wahai Amirul Mukminin sebenarnya
aku ingin menemuimu untuk mengadukan sikap istriku. Dia telah berani
bersuara keras terhadap diriku. Namun seketika aku melihat keadaan
rumahmu, aku menjadi merasa kerdil, karena apa yang engkau hadapi lebih
sulit daripada apa yang aku hadapi. Oleh karena itu, aku hendak pulang
dan berkata pada diriku sendiri: “Jika Amirul Mukminin saja mendapat
perlakuan seperti itu dari istrinya, maka bagaimana dengan diriku?”
‘Umar pun terseyum dan berkata: “Wahai saudaraku semuslim, aku
menahan diri dari sikapnya (istriku) itu, karena dia memiliki hak-hak
atas diriku. Aku berusaha untuk menahan diri meski sebenarnya aku bisa
saja menyakitinya (bersikap keras) dan memarahinya. Akan tetapi, aku
sadar bahwa tidak ada yang dapat memuliakan wanita selain orang yang
mulia dan tidak ada orang yang merendahkan selain orang yang suka
menyakiti. Mereka dapat mengalahkan setiap orang yang mulia namun
mereka dapat dikalahkan oleh setiap orang yang suka menyakiti. Akan
tetapi, aku angat ingin menjadi orang yang mulia meski aku kalah (dari
istriku), dan aku tidak ingin menjadi orang yang suka menyakiti meski
aku termasuk orang yang menang.”
‘Umar melanjutkan : “Wahai saudaraku orang Arab, aku berusaha
menahan diri karena dia istriku memiliki hak-hak atas diriku. Dialah
yang memasak makanan untukku, membuatkan roti untukku, menyusui
anak-anakku, dan mencuci baju-bajuku. Sebesar apa kesabaranku terhadap
sikapnya, maka sebanyak itulah pahala yang aku terima.”
Saya membaca kisah yang penuh makna ini berkali-kalipun sangat terasa indah dan sejuk (halah..), bagaimana tidak?
Saya tidak tepikirkan, bagaimana perhatian negara Islam yang begitu
besar untuk mengurusi umatnya termasuk masalah rumah tangga, luar
biasa. Disisi lain, sikap seorang pemimpin besar semisal ‘Umar yang
kalau kita ketahui sifat ‘Umar adalah keras dan kasar, tapi bisa
menahan diri dari bersikap kasar dan lebih memilih bersikap lembut
kepada istrinya yang beliau cintai. Itulah cinta mawaddah ‘Umar kepada
istrinya.
Kalau saya melihat sekarang, seperti pekerjaan rumah tangga pastinya
istri manapun ada saatnya untuk berkeluh kesah, setiap hari kerjaan
utamanya adalah masak, mengusrus anak, cuci baju suami dan
anak-anaknya, beres-beres rumah, mendidik anak, memantau anak, ini itu
setiap hari dan memang seperti itu kerjaan utama seorang istri.
Kalau ukurannya hanya sekedar cinta (al hubb) saya yakin
istri tersebut akan setiap hari ngomel kepada suaminya untuk minta
pembantu, atau mungkin bisa kabur (terlalu mendramatisir..) ,tapi isrti
yang cinta kepada keluarga atas landasan iman dan kecintaannya adalah
mawaddah semuanya akan ditangkis dengan kalimat, “Itulah jihad saya dan
Allah ‘azza wa jalla akan memberikan surga kepada seorang istri yang
baik dalam pengurusan rumah tangganya”
Saya jadi teringat kisah Fathimah binti Muhammad r.a. yang mengadu
kepada ayahnya sebagai pemimpin negara islam agar diberikan seorang
pembantu untuk membantu pekerjaan rumah tangganya, kemudian salah satu
nasehat yang Rasulullah saw berikan kepada fathimah adalah :
Nabi berkata kepada puterinya, Fathimah:
“Kalau Allah menghendaki wahai Fathimah, tentu lumpang itu akan
menggilingkan gandum untukmu. Akan tetapi Allah menghendaki agar
ditulis beberapa kebaikan untukmu, menghapuskan keburukan-keburukan
serta hendak mengangkat derajatmu.
Wahai Fathimah, barangsiapa perempuan yang menumbukkan (gandum) untuk
suami dan anak-anaknya, pasti Allah akan menuliskan untuknya setiap
satu biji, satu kebaikan serta menghapuskan darinya setiap satu biji
satu keburukan. Dan bahkan Allah akan mengangkat derajatnya.
Wahai Fathimah, barang siapa perempuan berkeringat manakala menumbuk
(gandum) untuk suamiya. Tentu Allah akan menjadikan antara dia dan
neraka tujuh khonadiq (lubang yang panjang).
Wahai Fathimah, manakala seorang perempuan mau meminyaki kemudian
menyisir anak-anaknya serta memandikan mereka, maka Allah akan
menuliskan pahala untuknya dari memberi makan seribu orang lapar dan
memberi pakaian seribu orang yang telanjang.
Wahai Fathimah, bilamana seorang perempuan menghalangi (tidak mau
membantu) hajat tetangganya, maka Allah akan menghalanginya minum dari
telaga “Kautsar” kelak di hari Kiamat.
Wahai Fathimah, lebih utama dari itu adalah kerelaan suami terhadap
istrinya. Kalau saja suamimu tidak rela terhadap engkau, maka aku tidak
mau berdo’a untukmu. Apakah engkau belum mengerti wahai Fathimah,
sesungguhnya kerelaan suami adalah perlambang kerelaan Allah sedang
kemarahannya pertanda kemurkaan-Nya.
Wahai Fathimah, manakala seorang perempuan mengandung janin dalam
perutnya, maka sesungguhnya malaikat-malaikat telah memohonkan ampun
untuknya, dan Allah menuliskan untuknya setiap hari seribu kebaikan
serta menghapuskan darinya seribu keburukan. Manakala dia menyambutnya
dengan senyum, maka Allah akan menuliskan untuknya pahala para pejuang.
Dan ketika dia telah melahirkan kandungannya, maka berarti dia ke luar
dari dosanya bagaikan di hari dia lahir dari perut ibunya.
Wahai Fathimah, manakala seorang perempuan berbakti kepada suaminya
dengan niat yang tulus murni, maka dia telah keluar dari dosa-dosanya
bagaikan di hari ketika dia lahir dari perut ibunya, tidak akan keluar
dari dunia dengan membawa dosa, serta dia dapati kuburnya sebagai taman
diantara taman-taman surga. Bahkan dia hendak diberi pahala seribu
orang haji dan seribu orang umrah dan seribu malaikat memohonkan ampun
untuknya sampai hari kiamat. Dan barangsiapa orang perempuan berbakti
kepada suaminya sehari semalam dengan hati lega dan penuh ikhlas serta
niat lurus, pasti Allah akan mengampuni dosa-dosanya serta memakaikan
kepadanya pakaian hijau (dari surga) kelak di hari Kiamat, serta
menuliskan untuknya setiap sehelai rambut pada badannya seribu
kebaikan, dan Allah akan memberinya (pahala) seratus haji dan umrah.
Wahai Fathimah, manakala seorang perempuan bermuka manis di depan
suaminya, tentu Allah akan memandanginya dengan pandangan’rahmat’.
Wahai Fathimah, bilamana seorang perempuan menyelimuti suaminya
dengan hati yang lega, maka ada Pemanggil dari langit
memanggilnya”mohonlah agar diterima amalmu. Sesungguhnya Allah telah
mengampuni dosa-dosamu yang lalu maupun yang belum lewat”.
Wahai Fathimah, setiap perempuan yang mau meminyaki rambut dan
jenggot suaminya, mencukur kumis dan memotongi kukunya, maka Allah akan
meminuminya dari ‘rahiqil makhtum dan sungai surga, memudahkannya
ketika mengalami sakaratil maut, juga dia hendak mendapati kuburnya
bagaikan taman dari pertamanan surga, serta Allah menulisnya bebas dari
neraka serta lulus melewati shirat”.
Semoga kecintaan kita selalu dilandasi keimanan kepada Allah ‘azza wa jalla.[]
Wallahua’lam bi ash shawab
Wallahua’lam bi ash shawab
Shinta Mardhiah Alhimjarry Guru HSG el Dina Bandung
0 comments:
Posting Komentar